Film ‘Titanic’ dan Sorotan Sosialnya
Kalau ada yang tanya, film apa yang luar biasa terkenang oleh ingatanku ini, maka setelah Lion King, jawabannya adalah Titanic. Meski secara genre keduanya berbeda, dua film ini sama-sama memicu cara pandangku mengenai perjalanan kehidupan, utamanya berkaitan tentang keberanian mengambil keputusan dan melanjutkan hidup dengan harapan — walaupun cobaan bagi kedua protagonisnya sangat berat (yg bikin seorang diri ini ga mungkin ga mewek tiap kali menontonnya).
Saat pertama kali nonton Titanic di layar kaca Indosiar 22 tahun yang lalu dengan ditemani Bapak dan Ibu, bocah kelas 3 SD ini cepat dengan mudah tersentuh potret tragis perpisahan sejoli dan peristiwa tenggelamnya kapal lewat tangisan polos. Kesedihan sekaligus keterpanaan yang berlanjut esok dan esok harinya hingga tiap buku tulisnya di sekolah selalu ada gambar kapal Titanic, lengkap dengan empat cerobong uapnya.
Berulang kali Titanic dilihatnya dari layar kaca, siapa sangka 2023 film itu ditayangkan di layar bioskop. Dalam situasi ini, bocah kelas 3 SD sudah menjadi individu berkepala 3 yang tidak lagi ditemani Bapak-Ibu, namun teman sehidup-matinya.
Dalam situasi ini pula — dengan pertambahan pengalaman hidup yang terlewati, bocah polos yang mendewasa itu tidak lagi melihat Titanic sebagai sekadar film drama romantis berbalut sejarah, melainkan sebagai sebuah maha karya dengan kekayaan KRITIK SOSIAL yang mewajarkannya diganjar berbagai penghargaan.
Saat melihatnya kembali, bukan relasi Jack dan Rose yang menjadi spotlight, namun sorotan pada tiap dialog, simbol, gestur, maupun representasi latar yang dibangun, yang sebagian besarnya mencoba menggugah kesadaran penonton pada: KETIMPANGAN KELAS SOSIAL dan KETIDAKSETARAAN GENDER.
Menyoal ketidaksetaraan gender, latar tahun 1912 memang mudah memproyeksikan derajat kaum perempuan dibanding laki-laki yang inferior, di mana dalam film ini terpotret melalui cara makan, duduk, ataupun bersikap para bangsawan perempuan yang ‘diatur’; bagaimana Ibu Rose mengandalkan Rose untuk menjadi ‘tumbal’ dalam keluarga melalui pernikahan dengan Cal demi menjaga kelangsungan hidup mereka sebagai perempuan; kesewenangan Cal bersikap pada Rose seperti seakan ‘barang’ yg ia telah beli; dll. Yang meski dalam situasi penumpang sekoci ‘keutamaan’ perempuan dan anak didahulukan, namun secara implisit tindakan ini juga dapat dilihat sebagai potret bahwa perempuan ada kalanya dianggap sebagai makhkluk yg lebih lemah dan lebih berpotensi merawat anak serta bereproduksi sehingga posisi mereka dalam situasi tsb akhirnya ‘diselamatkan’.
Di sisi lain, wacana ketimpangan sosial tak kalah mengambil bagian, bahkan hampir dalam sebagian besar scene Titanic. Pembukaan film yang disertai lagu kebahagiaan akan berlayarnya kapal kebanggaan itupun sudah berusaha menunjukkan adanya perbedaan antara kelas sosial atas dan bawah dari scene pengecekan penumpang kelas 3 dari kutu (kelas sosial bawah selalu diidentikkan dengan virus, penyakit, kumuh, kotor, sehingga butuh diperiksa), sedangkan penumpang kelas 1 diberi akses langsung masuk ke kapal tanpa diperiksa dan diberi layanan muat barang (mobil Cal yang belasan) — tentunya dengan upah uang.
Selanjutnya sampai akhir film, kita bisa dengan mudah melihat bagaimana bedanya fasilitas dek kelas 1 dan 3 yang bagai langit dan bumi, meliputi desain kamar, santapan, area bermain/bersantai dalam kapal, area ibadah, cara pesta, cara berkomunikasi, cara berpakaian, cara berterima kasih, kemudahan memandang kelas bawah sebagai pelaku kejahatan (scene Jack dituduh memperkosa saat menolong Rose yang akan bunuh diri maupun saat difitnah mengambil kalung berlian), hingga prioritas KESEMPATAN HIDUP (di mana penumpang kelas 1 diprioritaskan naik sekoci dan kelas 3 justru dikunci dalam lantai dek, meski ia adalah seorang perempuan atau anak).
Bahkan dalam dialog2 yang saat dilihat di momen2 awal dahulu terkesan sebagai sebatas candaan, saat didalami lagi maknanya begitu getir menampar sebagian orang2 berada yang digambarkan hanya memiliki banyak uang dan kesombongan, namun 0 attitude, 0 apresiasi seni, dan 0 pengetahuan, seperti contohnya saat:
- Cal yang meremehkan lukisan2 yang dibawa Rose. Menganggap Picasso adalah seorang membuat tunangannya membuang2 uang hanya untuk coretan tanpa makna (Picasso sebagai lambang seni)
- Mr. Ismay sang pemilik kapal yang begitu membanggakan kekuatan dan kehebatan Titanic dari ‘ukuran’ yang besar, dan ditanggapi Rose dengan analoginya pada teori psikoanalisis Freud, namun Ismay tidak memahami bahkan pernah mendengar Freud sama sekali (Freud sebagai lambang ilmu pengetahuan)
- Cal merasa bisa berbuat semuanya dengan mengandalkan uang: mengupah jasa Jack, menyogok petugas sekoci, dll. Namun saat penyelamatan diri, ia tak seheroik laki2 lainnya yg memilih mati di kapal dan memaksakan diri naik sekoci.
Bagiku kini, Titanic bukan lagi tentang Rose dan Jack semata, tapi tentang kejeniusan seorang James Cameron merangkai potret ‘ketimpangan hidup manusia’ yang hingga saat ini masih selalu ada ceritanya.
Sebagai penonton, selain sekadar menikmati, mungkin pesan2 Titanic dapat dihayati melalui kesadaran bahwa entah saat ini kita berada dalam posisi hidup seakan ‘penumpang kelas 1’ atau ‘penumpang kelas 3’, kebaikan dan keadilan pada sesama, tanggung jawab atas pilihan yg diambil, dan pengharapan dalam hidup perlu selalu menjadi OBOR yang dinyalakan dalam diri. Dalam kehidupan yang diimani sekali ini.
Bonus refleksi:
Bocah polos itu membawa angan akan sosok Jack dalam kehidupannya, bukan karena tampannya sosok yg diperankan Leonardo Dicaprio, namun atas sikap dan sifatnya yang begitu mengayomi, menghibur, menguatkan kekasihnya.
“You jump, I jump,”..
“Never let go,”..
“We’ll be alright. You’ll be alright,”
Kiranya pesan tersebut mirip seperti kalimat berikut:
“Karena kita berjalan beriringan, bukan salah satu menyeret yang lain,”
“Teruslah berpengharapan. Sekalipun terjun ke jurang, jangan pernah kehilangan harapan,”
“Semua akan baik2 saja. Kita bersama, semua akan baik2 saja,”
Dengan versi sedikit lebih panjang dan tanpa janjian nonton Titanic, pesan2 menguatkan di atas kudengar melalui ucapan2nya yang dikirimkan Tuhan dalam hidupku sepuluh tahun terakhir. Yang seperti Rose, menguatkanku hingga bisa sampai di titik ini.
Maka di H+1 Hari Valentine — yg sebenarnya bukan menjadi perayaan tahunan kami, tulisan tentang Titanic bab akhir ini ingin juga ingin mensyukuri hadirnya dalam hidupku sebagai berkat Tuhan yg tidak pernah kusangka bisa dikabulkanNya.
Jadi buat suamiku,
Terima kasih untuk kamu, ya.
Sehat selalu.
Bahagia selalu.
L U :)
Bs,
Jakarta, 15 Feb 23