Pengumuman Beasiswa dan Jeda untuk Menyapa Mimpi yang Sebenarnya
Gagal atau berhasil, apa mimpimu yang benar-benar itu?
Seorang anak muda yang telah teranggap sebagai adik sendiri memberi kabar tentang kebelum-berhasilannya dalam mendapatkan beasiswa LPDP.
Kabar yang saya pahami betul membuatnya sangat sedih dan kecewa, sebab ia telah memperjuangkannya dengan sebaik mungkin sejak lama, berkali-kali.
Membaca pesannya, perasaan sedih yang sama di tahun 2016 kembali muncul seperti dejavu. Tetapi justru saat kenangan itu melintas, senyum hadir mengganti perasaan sendu.
Saya yakin benar ia kelak akan berada di titik yang mampu memahami alasan mengapa harus gagal di sini. Bahkan merasa bahagia atas kegagalan ini —selama ia tidak berhenti berharap dan mencari cara lain dalam meraih mimpi-mimpinya.
Karena saya sendiri, telah berdiri beberapa langkah di depannya, di titik itu.
9 Desember 2016, mimpi saya untuk melanjutkan studi melalui LPDP telah benar-benar pupus. Sedih, iya. Kecewa, pasti. Remuk, apalagi. Semua telah dirasa diperjuangkan semaksimal mungkin, namun Tuhan berkehendak lain. Keputusan yang begitu getir, namun harus diterima dengan lapang dada.
Saya masih ingat, di momen pasca membaca pengumuman itu, saya sengaja berkendara mengambil rute sejauh mungkin untuk pulang ke kos.
Sepanjang perjalanan, saya berbincang dengan diri saya sendiri dan dengan Tuhan. Saya banyak bertanya..
“Mengapa, Be?”
“Mengapa, Tuhan?”
Sampai suara muncul dalam batin saya sendiri yang menimpali..
“Coba urai lagi mimpimu, Be.”
“Apa yang benar-benar menjadi mimpimu?”
“Benarkah harus S2?”
“Benarkah harus LPDP?”
Saya masih ingat pula, saya mencoba menggali jawabannya sembari melihat sekitar lebih lagi.
Saya banyak melihat apa-apa yang ada di jalan saat itu. Bapak pendorong gerobak, anak-anak pulang sekolah, ibu penjual sayur, pekerja bermotor berbaris di lampu merah, gedung-gedung megah, rumah/rumah berhimpitan, mobil dan motor sesekali menglakson, dan pohon-pohon makin jarang berjejer.
Apa yang sebenarnya saya impikan?
Melihat hiruk-pikuk itu, samar-samar saya tahu. Saya hanya ingin berbuat. Hanya berbuat untuk sedikit kebaikan di dunia.
Kalau begitu, saya menemukan pencerahan lagi.
Kalau hanya ingin berbuat, maka melanjutkan studi untuk menambah ilmu yang diharap bermanfaat bagi sekitar BUKANLAH satu-satunya cara.
Kalau hanya ingin berbuat, maka saya bisa melakukan apa saja dengan niatan tulus yang sama. Sebab pun studi itu sendiri dapat dilakukan di mana saja, didapatkan dari apa saja, asal punya keinginan untuk lebih mengetahui dan memahami.
Atas penemuan ini, ‘banting setir’ upaya yang lebih pada lamaran-lamaran di pekerjaan bidang sosial lah yang kemudian membuahkan hasilnya.
Tuhan memberikan kesempatan pada saya untuk lebih mengenali dan mengalami beragam pekerjaan yang memberi dampak bagi masyarakat, dengan berbagai latar belakang. Melalui keterlibatan ini yang mengantar saya di titik saat ini, kemudian saya bisa menyadari bahwa inilah jalan yang dipilihNya untuk saya tempuh.
Cerita pengalaman dan pesan dari refleksi perjalanan hidup ini saya sampaikan pada adik saya tersebut —yang barangkali juga oleh pembaca yang sedang mengalami pergulatan hampir serupa.
Saat gagal, khususnya terkait beasiswa studi lanjut (lebih spesifik lagi LPDP), ambil jeda untuk memeluk diri dan bertanya..
“Apa mimpimu yang paling benar-benar itu?”
Tentu perjalanan seorang Bebe dalam menemukan jawaban pergumulan hatinya tidak dapat menjadi acuan jawaban mutlak atas setiap proses dan kegelisahan yang hampir sama. Sebab, hanya kita yang paling mengetahui diri kita sendiri dan tiap detil proses yang terjalani.
Meski begitu, pertanyaan utama yang sama, saya kira bisa membantu mengarahkan arah keputusan ke depan.
Maka kembali saya salin pertanyaan bantuan itu..
“Apa sejatinya mimpimu yang paling benar-benar itu?”
Tanyakan pada hati kecilmu..
Temukan..
Inilah lentera jalan hidupmu, tempat di mana restu Tuhan seharusnya menyertai.
Bs.,
Jakarta, 15 Juni 2024.