Si Muda Bukan “Gelas Kosong Tanpa Isi”

B. Sofranita
2 min readOct 28, 2023

--

Sebuah refleksi di Hari Sumpah Pemuda untuk kegiatan pendampingan kaum muda.

Dalam proses pendampingan yg melibatkan kaum muda (lebih-lebih secara usia memang lebih muda dari pendampingnya), ada jebakan yang rentan luput dari kesadaran pendamping, yaitu ketika pendamping merasa paling mengetahui dan merasa berhak untuk mengedepankan ekspektasinya di atas kebutuhan atau pilihan hidup dari kaum muda yang didampingi.

Ketika berhadapan dengan individu yang lebih muda, (beberapa) orang dewasa punya kecenderungan untuk memandang si Muda tersebut sebagai “gelas yang harus diisi” seakan ia benar-benar kosong tanpa setetes pun isi.

Persepsi ini membuat si Dewasa merasa perlu untuk terus menuang, memberi, mengajar, mengarahkan, yang sampai pada titik ekstrim kemudian menjadi mengatur, menghakimi, memaksa, dan me- me- hegemonis lainnya.

Untuk membatasi diri agar tidak sampai jatuh pada ‘jebakan’ ini, tiap individu yang utamanya berperan sebagai pendamping kaum muda perlu terus-menerus mengingatkan diri bahwa seorang muda yang ia hadapi juga lah individu manusia yang telah melewati beragam pengalaman hidup, yang membuatnya ‘tidak sekosong gelas tak berisi’.

Kesadaran ini akan membantu pendamping untuk menyadari bahwa perannya sebagai manusia lain atas hidup individu muda tersebut adalah lebih kepada menambah isian dalam ‘gelas yang sudah terisi’ dengan sesuatu ‘yang lebih manis’, seperti dukungan, arahan, saran, dll, yang kiranya dapat memberi dampak positif bagi anak muda tersebut.

Mudahnya, tiap yang dewasa juga pernah muda. Tiap yang mendampingi juga pernah didampingi. Lantas apa sih yang membuat kita waktu ‘muda’ dan dalam fase ‘didampingi’ kala itu merasakan nyaman untuk mengembangkan potensi diri?

Ambilah memori tersebut untuk menjadi acuan dan pengingat terus-menerus untuk menjalani segala proses ‘mendampingi’. Karena idealnya tiap manusia bisa memperlakukan orang lain sama dengan bagaimana dirinya ingin diperlakukan, bukan?

--

--

B. Sofranita

Kebenaran mutlak ada pada pengadilan Tuhan — kebenaran relatif hadir di tiap perjuangan kemanusiaan.